Minggu, 04 Maret 2012

Optmisme Pengembangan UMKM melalui Bank Syariah

UMKM semakin hari semakin berpendar warnanya, krisis 2008 yang menyerang Indonesia, bisa ditangkis dengan mantapnya UMKm kita. Walaupun banyak juga UMKM yang berguguran di jalan krisis 2008. Toh nyatanya Indonesia dengan bangga bisa bersanding dengan China dan India, tiga tiganya Negara di dunia yang mengalami pertumbuhan ekonomi di dunia pada tahun 2009 ini. Hal ini tentunya semakin membuka mata pemerintah kita untuk sudah tidak bermain main lagi dengan peningkatan UMKM.


Dalam kaitan strategi peningkatan pembiayaan kepada sektor UMKM ke depan, maka perlu mencakup empat aspek pokok yaitu: (i) Strategi untuk penguatan iklim investasi dan iklim usaha yang kondusif bagi sektor UMKM, (ii) Strategi untuk penguatan kemampuan kewirausahaan dan kegiatan usaha sektor UMKM, (iii) Strategi penguatan sektor keuangan khususnya perbankan dalam pembiayaan kepada sektor UMKM, dan (iv) Strategi untuk pengembangan berbagai perangkat penunjang (infrastuktur) bagi peningkatan pembiayaan sektor UMKM.

Pembiayaan dengan pola bagi hasil yang ditawarkan oleh bank syariah sangat cocok untuk pengembangan dan pemberdayaan UMKM. Hal ini dikarenakan dalam pengembangan UMKM, diperlukan lembaga multifinance, yang selain memberikan pembiayaan juga memberikan penyediaan bantuan dalam hal manajemen. Dan ini dimiliki oleh perbankan syariah. Dalam pengembangannya, perbankan syariah menerapkan prinsip tersebut dengan bagi hasil , baik sistem musyarakah maupun mudharabah.
Pembiayaan bagi hasil adalah sejalan dengan siklus usaha, berbeda dengan perbankan konvensional yang anti-siklus. Ketika sektor riil lumpuh, lembaga konvensional itu tetap hidup dari spread yang didapat karena instrumen derivatif, padahal hal itu akan memacu inflasi yang lebih tinggi. Pola bagi hasil pada intinya adalah berbagi resiko sehingga kedua belah pihak yaitu bank dan nasabah memiliki tanggung jawab untuk bersama-sama mengembangkan usaha sehingga akan tercipta sustainability usaha yang berimplikasi pada peningkatan ekonomi rakyat.

Salah satu sistem ekonomi Islam yang diterapkan dalam dunia perbankan adalah Syirkah atau Bagi Hasil atau Profit Sharing. Dalam Syirkah ini beberapa macam pembiayaan usaha ,yaitu : Al-Musyarakah,Al Mudharabah, Al – Muzara’ah, Al Musaqah (Antonio, Bank Syariah sebagai pengenalan umum).
Al Musyarakah adalah suatu akad yang terjadi kesepakatan antara dua orang atau lebih untuk saling menyertakan modalnya dalam suatu usaha. Dan mereka saling berbagi keuntungan ataupun kerugian berdasarkan kesepakatan bersama. Sedangkan Al-Mudharabah adalah suatu akad dimana shahibul maal (kreditur ) memberikan dananya 100 % dan pihak lainnya (mudarib) sebagai pengelola. Jika terjadi kerugian maka semua ditanggung oleh shahibul maal dan mudharib. Sedang keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan. (Prinsib-Prinsib Bank Syariah, Antonio)

Dilihat dari sini maka hal dasar yang membedakan antara sistem kredit konvensional dan sistem kredit bank syariah adalah terletak pada sistem pengembalian modal (pembagian keuntungan ataupun kerugian). Dalam sistem konvensional didasarkan pada modal yang dipinjam, jadi untung atau rugi tidak diperhitungkan. Sedangkan bagi bank syariah keuntungan didasarkan pada keuntungan atau kerugian yang didapat (actual profit / revenue) tidak pada modal yang disetor.

Bagi UMKM hal ini tentu saja akan menguntungkan bagi mereka, karena bila di akhir nanti terjadi rugi maka yang menangung adalah dua pihak, yaitu antara pihak penyandang dana dan UMKM sendiri. Hal ini akan membuat UMKM mencoba untuk berusaha lagi karena modal yang digunakan untuk menangung kerugian tidak terlalu besar. Beda dengan bank konvensional, maka kerugian yang ditangung adalah sebesar modal dan ditambah dari presentase bunga yang disepakati.

Penetapan tahun Mikro oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2005 tentulah bukan hanya sembarang penetapan. Alasannya dapat dilihat sebagai berikut :
1. Kontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB). Pada tahun 2002, UMKM telah menyumbang sekitar 46,71 persen dari PDB (tanpa migas) dan sekitar 41,25 persen dari PDB (dengan migas). Angka ini kemudian meningkat menjadi 56,7 persen atau Rp1.013 triliun pada tahun berikutnya 2003. UMKM telah memberikan kontribusi sekitar 2,4 poin persentase dari 4,1 persen pertumbuhan PDB nasional.
2. Kedua, penyerapan tenaga kerja. Pada tahun 2002, UMKM menyerap sebanyak 68,28 juta tenaga kerja atau sekitar 88,70 persen dari seluruh tenaga kerja yang ada. Kontribusi ini meningkat menjadi 79 juta tenaga kerja atau sekitar 15,7 persen pada tahun 2003.
3. Ketiga, kontribusi terhadap sektor moneter. Tingkat kredit macet UMKM pada tahun 2002 hanya sekitar 3,9 persen, sementara kredit macet di sektor perbankan sendiri mencapai sekitar 10,2 persen (Gunawan Sumodiningrat, Kompas, 16 September 2004).

Resistensinya UMKM terhadap krisis moneter sebenarnya bukan menjadi landasan utama mengapa pemerintah harus menaruh perhatian yang besar, terutama dalam penyaluran kreditnya. Tetapi pengembangan UMKM di pedesaan dapat berperan dalam hal pemerataan pembangunan, maupun distribusi ekonomi dan pendapatan yang sehat. Dengan demikian masalah-masalah migrasi, urbanisasi, pengangguran dan penghuni liar kian berkurang secara gradual dan siginifikan.

Namun itu semua bukanlah hal yang mudah, hal ini dikarenakan krisis yang berkepanjangan juga menghancurkan sistem perekonomian Indonesia. Akibatnya kita juga harus melakukan dua hal secara bersamaan : menanggulangi krisis serta mempersiapkan infrastruktur yang kuat dan kondusif bagi pengembangan UMKM.

Proses ini tidak hanya dapat dilakukan oleh pelaku pasar saja (secara parsial) tetapi harus dilakukan oleh semua unsur secara komprehensif dan simultan
Dalam kerangka pendekatan yang komprehensif tersebut pemerintah yang dalam hal ini diwakili bank memegang peranan yang sangat penting. Hal ini dikarenakan kesulitan utama pengembangan UMKM adalah ketidakmampuan mereka dalam menyediakan modal, jaminan dan keahlian yang memadai untuk mejalankan usaha dengan efektif dan efisien (profesionalisme).

Pelayanan perbankan juga tidak bisa lagi mengandalkan ‘penjualan uang’ dengan mengandalkan pendapatan dari bunga . Pendekatan yang dilakukan bukan dengan pendekatan commersial banking yang melihat aspek kredit dari jaminan yang diserahkan oleh debitur melainkan harus dengan pendekatan investment banking.

Pendekatan investment banking adalah pendekatan dimana bank disamping menyediakan modal (financing assitance) juga menyertai dengan pembinaan (technical assistance). Hal ini dimaksudkan untuk :
1. Mengoptimalkan pembiayaan yang diberikan kepada UMKM sehingga mereka dapat memenuhi kewajibannya
2. Bank mempunyai kepentingan untuk senantiasa melakukan inovasi dan diversifikasi guna menunjang keberhasilan ekspansi yang berkelanjutan demi bank itu sendiri.

Selain itu persiapan dan pemenuhan infrastruktur bagi perbankan syariah seperti peraturan peraturan untuk mengembangkan ekonomi Indonesia harus segera digarap oleh eksekutif dan legislative, sehingga bank syariah dapat banyak melakukan improvisasi pembiayaan kepada UMKm yang sesuai dengan syariah tanpa terganjal peraturan yang belum jelas.

Nah saatnyalah saat ini perbankan syariah harus membuktikan kepada publik bahwa mereka benar benar berbeda dengan bank konvensional, sehingga ejekan, “ Bank Konvensional berjilbab” dapat dihilangkan dari perbankan syariah. Kita doakan bersama. (sf)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar