Minggu, 04 Maret 2012

Menggarap Sektor Riel UMKM Melalui Pembiayaan Syariah

”……mereka berpendapat ,sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” Al Quran Surat Al Baqarah : 275

Sejak satu dekade terakhir di Indonesia telah diperkenalkan suatu sistem perbankan dengan metode pendekatan syari’ah Islam yang dapat menjadi perbankan alternatif bagi masyarakat, khususnya bagi umat Islam. 

Bank syariah tampil menjadi lembaga keuangan alternatif di tengah-tengah krisis ekonomi yang ditandai dengan hancurnya sistem perbankan nasional konvensional yang ditopang oleh tatanan ekonomi sekuler. Kenyataan membuktikan bahwa perbankan konvensional tidak mempunyai resistensi yang tangguh untuk menjawab segala ketidakpastian pasar. Pada tahun 1997 puluhan bank Konvensional harus dilikuidasi karena tidak mampu membayar. Tetapi lain dengan Bank Syariah, yang berhasil menjauhkan diri dari negative spread yang menjadi penyakit bank-bank konvensional. .(Ahmad Sumiyanto, MSI-UII.Net. 10/6/2005)
 
Dalam krisis ekonomi tersebut, sektor usaha kecil menengah terutama sektor pertanian (agribisnis) ternyata lebih resisten terhadap krisis dan menjadi jaring penyelamat sosial bagi perekonomian nasional untuk bertahan. Walaupun juga banyak usaha kecil menengah yang ambruk dilanda krisis moneter yang berkepanjangan.

Pertumbuhan sektor pertanian (agribisnis) tetap positif di saat krisis karena sektor pertanian relatif steril dari penggunaan bahan baku impor. Produk pertanian di luar beras dan tanaman pangan lainnya di ekspor sehingga sektor pertanian malahan menikmati windfall profit akibat merosotnya nilai rupiah. Sementara itu sektor usaha kecil dan koperasi yang jumlahnya jutaan menjadi bumper dalam krisis ekonomi dengan menyerap tenaga kerja lebih banyak. Dengan demikian untuk menciptakan sektor riil yang tangguh kebijakan ekonomi di Indonesia harus diarahkan kembali kepada pengembangan sektor usaha kecil dan menengah serta pemanfaatan sumber daya alam sebagai basis pengembangan (core business) dunia usaha di Indonesia melalui pemberdayaan usaha kecil dan menengah di kedua sektor tersebut. (Ahmad Sumiyanto, MSI-UII.Net. 10/6/2005)

Total portofolio kredit BRI sampai dengan tahun 2005 untuk sektor UMKM mencapai 86,79 persen atau sebesar Rp 65,552 triliun dari total pinjaman sebesar Rp 75,533 triliun. Sedangkan sepanjang tahun 2005, sektor pembiayaan Bank Muamalat Indonesia (BMI) untuk sektor UKM mencapai 99,46 persen dari total pembiayaan yang disalurkan BMI. Dan sisanya adalah sektor usaha besar atau korporasi. ”Sekitar 99,46 persen nasabah Bank Muamalat adalah UKM dan hanya 0,54 persen usaha besar korporasi,” ujar Dirut BMI, A Riawan Amin. (Republika, 27 Maret 2006)

Berdasarkan laporan pembiayaan per Desember 2005, jumlah nasabah BMI yang memperoleh pembiayaan untuk sektor usaha mikro (Rp 0 sampai Rp 50 juta) sebanyak 14,670 nasabah (47,20 persen total nasabah pembiayaan). Untuk usaha kecil (>Rp 50 juta sampai Rp 500 Juta) sebanyak 12.355 nasabah (39,75 persen), usaha menengah (>Rp 500 juta sapai Rp 5 miliar) sebanyak 3,891 orang (12,52 persen). Sedangkan usaha besar atau skala korporasi sebanyak 167 nasabah atau hanya 0,54 persen dari total nasabah pembiayaan. Adapun total dana yang disalurkan oleh Bank Muamalat hingga Desember 2005 sebesar Rp 6,05 triliun dengan komposisi UMKM sebanyak 66,78 persen atau sebesar Rp 4,04 triliun. (Republika, 27 Maret 2006) 

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan terdapat 15 juta usaha yang belum berbadan hukum pada tahun 2000. Dari jumlah tersebut, sebanyak 12 juta usaha belum memperoleh fasilitas kredit dari lembaga perbankan. Kalau masing-masing diberikan kredit sebesar Rp50 juta, maka perbankan nasional akan mampu melakukan ekspansi kredit sebesar Rp600 triliun (Kompas, 27 Februari 2005) 

Apakah ekspansi sebesar itu mampu dibiayai dengan kredit perbankan nasional? Jawabannya, jelas mampu denagn dibiayai oleh Dana Pihak Ketiga (DPK). Data Evaluasi Perekonomian Bank Indonesia (BI) pada tahun 2004 menggambarkan bahwa pada (November) 2004, kredit perbankan yang diberikan meningkat sebesar Rp96,2 triliun atau sekitar 20,2 persen sehingga mencapai Rp573,4 triliun. Kredit ke UMKM yang disalurkan perbankan nasional mencapai Rp270,5 triliun (Oktober 2004) atau 51 persen dari total kredit perbankan (tanpa chanelling). Bagaimana dengan DPK? DPK pada tahun 2004 juga meningkat sebesar Rp43,9 triliun atau 4,9 persen sehingga mencapai Rp932,5 triliun. 
Data di atas menegaskan bahwa pertumbuhan kredit (Rp 96,2 triliun) ternyata lebih besar daripada pertumbuhan DPK (Rp 43,9 triliun). Hal ini berarti bahwa Loan to Deposit Ratio (LDR) perbankan nasional mengalami perbaikan dari 43,2 persen pada 2003 menjadi 49,5 persen pada 2004 (lihat Tabel 1). Hal ini memberi sinyal bahwa harapan agar kredit ke sektor UMKM makin berkembang akan menjadi kenyataan. Harapan ini makin mengental ketika melihat kredit bermasalah atau non-performingloans (NPL) UMKM pada 2004 hanya 3,44 persen. 

Besarnya keunggulan UMKM telah dibuktikan, begitu pula dengan potensi kreditnya. Yang menjadi permasalahannya adalah bagaimana tanggapan perbankan nasional dalam mensikapi kebutuhan akan pembiayaan UMKM. Tentu ini akan menjadi pertanyaan besar kita pada pemerintahan baru yang akan mulai terbentuk sejak dilantiknya Presiden dan wakil Presiden Indonesia pada tanggal 20 Oktober 2009. Apakah iya menjawabnya harus menunggu lima tahun mendatang, Wallahualam bis showab (sf)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar