”……mereka
berpendapat ,sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah
telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” Al Quran Surat Al Baqarah : 275
Sejak
satu dekade terakhir di Indonesia telah diperkenalkan suatu sistem
perbankan dengan metode pendekatan syari’ah Islam yang dapat menjadi
perbankan alternatif bagi masyarakat, khususnya bagi umat Islam.
Bank
syariah tampil menjadi lembaga keuangan alternatif di tengah-tengah
krisis ekonomi yang ditandai dengan hancurnya sistem perbankan nasional
konvensional yang ditopang oleh tatanan ekonomi sekuler. Kenyataan
membuktikan bahwa perbankan konvensional tidak mempunyai resistensi yang
tangguh untuk menjawab segala ketidakpastian pasar. Pada tahun 1997
puluhan bank Konvensional harus dilikuidasi karena tidak mampu membayar.
Tetapi lain dengan Bank Syariah, yang berhasil menjauhkan diri dari negative spread yang menjadi penyakit bank-bank konvensional. .(Ahmad Sumiyanto, MSI-UII.Net. 10/6/2005)
Dalam
krisis ekonomi tersebut, sektor usaha kecil menengah terutama sektor
pertanian (agribisnis) ternyata lebih resisten terhadap krisis dan
menjadi jaring penyelamat sosial bagi perekonomian nasional untuk
bertahan. Walaupun juga banyak usaha kecil menengah yang ambruk dilanda
krisis moneter yang berkepanjangan.
Pertumbuhan
sektor pertanian (agribisnis) tetap positif di saat krisis karena
sektor pertanian relatif steril dari penggunaan bahan baku impor. Produk
pertanian di luar beras dan tanaman pangan lainnya di ekspor sehingga
sektor pertanian malahan menikmati windfall profit akibat merosotnya nilai rupiah. Sementara itu sektor usaha kecil dan koperasi yang jumlahnya
jutaan menjadi bumper dalam krisis ekonomi dengan menyerap tenaga kerja
lebih banyak. Dengan demikian untuk menciptakan sektor riil yang tangguh
kebijakan ekonomi di Indonesia harus diarahkan kembali kepada
pengembangan sektor usaha kecil dan menengah serta pemanfaatan sumber
daya alam sebagai basis pengembangan (core business) dunia
usaha di Indonesia melalui pemberdayaan usaha kecil dan menengah di
kedua sektor tersebut. (Ahmad Sumiyanto, MSI-UII.Net. 10/6/2005)
Total
portofolio kredit BRI sampai dengan tahun 2005 untuk sektor UMKM
mencapai 86,79 persen atau sebesar Rp 65,552 triliun dari total pinjaman
sebesar Rp 75,533 triliun. Sedangkan sepanjang tahun 2005, sektor
pembiayaan Bank Muamalat Indonesia (BMI) untuk sektor UKM mencapai 99,46
persen dari total pembiayaan yang disalurkan BMI. Dan sisanya adalah
sektor usaha besar atau korporasi. ”Sekitar 99,46 persen nasabah Bank
Muamalat adalah UKM dan hanya 0,54 persen usaha besar korporasi,” ujar
Dirut BMI, A Riawan Amin. (Republika, 27 Maret 2006)
Berdasarkan
laporan pembiayaan per Desember 2005, jumlah nasabah BMI yang
memperoleh pembiayaan untuk sektor usaha mikro (Rp 0 sampai Rp 50 juta)
sebanyak 14,670 nasabah (47,20 persen total nasabah pembiayaan). Untuk
usaha kecil (>Rp 50 juta sampai Rp 500 Juta) sebanyak 12.355 nasabah
(39,75 persen), usaha menengah (>Rp 500 juta sapai Rp 5 miliar)
sebanyak 3,891 orang (12,52 persen). Sedangkan usaha besar atau skala
korporasi sebanyak 167 nasabah atau hanya 0,54 persen dari total nasabah
pembiayaan. Adapun total dana yang disalurkan oleh Bank Muamalat hingga
Desember 2005 sebesar Rp 6,05 triliun dengan komposisi UMKM sebanyak
66,78 persen atau sebesar Rp 4,04 triliun. (Republika, 27 Maret 2006)
Data
Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan terdapat 15 juta usaha yang
belum berbadan hukum pada tahun 2000. Dari jumlah tersebut, sebanyak 12
juta usaha belum memperoleh fasilitas kredit dari lembaga perbankan.
Kalau masing-masing diberikan kredit sebesar Rp50 juta, maka perbankan
nasional akan mampu melakukan ekspansi kredit sebesar Rp600 triliun
(Kompas, 27 Februari 2005)
Apakah ekspansi sebesar itu mampu dibiayai dengan kredit perbankan nasional? Jawabannya, jelas mampu denagn dibiayai oleh Dana
Pihak Ketiga (DPK). Data Evaluasi Perekonomian Bank Indonesia (BI) pada
tahun 2004 menggambarkan bahwa pada (November) 2004, kredit perbankan
yang diberikan meningkat sebesar Rp96,2 triliun atau sekitar 20,2 persen
sehingga mencapai Rp573,4 triliun. Kredit ke UMKM yang disalurkan
perbankan nasional mencapai Rp270,5 triliun (Oktober 2004) atau 51
persen dari total kredit perbankan (tanpa chanelling). Bagaimana dengan
DPK? DPK pada tahun 2004 juga meningkat sebesar Rp43,9 triliun atau 4,9
persen sehingga mencapai Rp932,5 triliun.
Data
di atas menegaskan bahwa pertumbuhan kredit (Rp 96,2 triliun) ternyata
lebih besar daripada pertumbuhan DPK (Rp 43,9 triliun). Hal ini berarti
bahwa Loan to Deposit Ratio (LDR) perbankan nasional mengalami perbaikan
dari 43,2 persen pada 2003 menjadi 49,5 persen pada 2004 (lihat Tabel
1). Hal ini memberi sinyal bahwa harapan agar kredit ke sektor UMKM
makin berkembang akan menjadi kenyataan. Harapan ini makin mengental
ketika melihat kredit bermasalah atau non-performingloans (NPL) UMKM
pada 2004 hanya 3,44 persen.
Besarnya
keunggulan UMKM telah dibuktikan, begitu pula dengan potensi kreditnya.
Yang menjadi permasalahannya adalah bagaimana tanggapan perbankan
nasional dalam mensikapi kebutuhan akan pembiayaan UMKM.
Tentu ini akan menjadi pertanyaan besar kita pada pemerintahan baru
yang akan mulai terbentuk sejak dilantiknya Presiden dan wakil Presiden
Indonesia pada tanggal 20 Oktober 2009. Apakah iya menjawabnya harus
menunggu lima tahun mendatang, Wallahualam bis showab (sf)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar