Minggu, 04 Maret 2012

Berdamai dengan Hati

Seminggu yang lalu aku mendapat Telepon dari seorang teman, yang mana sampai saat ini dia masih tinggal dengan mertuanya. Tiga hari sebelumnya dia sms di tengah malam, berkeluh kesah tentang bagaimna dia harus mempunyai sabar yang lebih, kira kira smsnya begini , “askm shoi, memang tinggal bersama mertua kau harus mempunyai kesabaran lebih, yang mana dibanding bandingkan dengan ipar yang lain, dimana sudah jelas aku akan kalah jauh dibandingkan mereka, tapi tolonglah ibu mertuaku tidak harus membahasnya bukan, aku merasa sendiri sedangkan suamiku sekarang lebih memilih ke kamar ibu, dan aku sendirian di kamar” . waktu iku aku hanya menjawabnya dengan “aku tahu,sholawat dan istigfarlah, maka hatimu akan merasa lebih tenang”. cukup itu saja yang kubalskan , tidak mungkin aku mengetikan kata sabar, karena justru akan membuat dia semakin gundah dengan anjuran seperti itu.  Seminggu kemudian dia meneleponku , menyesal telah membuat ibunya menangis dan mematikan telepon, karena ibunya terus menyerangnya untuk segera pulang sedang dia sendiri baru bisa pulang hari sabtu paginya, sedang ibunya menginginkan jika dia bisa pulang jumat sama seperti sebelum dia menikah sebulan lalu. Maka setelah capek menerangkan, akhirnya temanku hanya berujar, ” Ibu kan sudah tahu resiko saya menikah dengan mas, kalau memang ibu tidak mau seperti ini, kenapa menyuruh dan mengijinkan saya menikah” jawab temanku dengan memakai bahasa jawa yang sangat halus. Aku hanya tersenyum mendengarkan ceritanya. 


Tepat hari itu juga aku mendapat sms dari seorang adik teman, yang berkeluh kesah tentang dia dan ibunya dan masalahnya dengan kakaknya. Sang adik merasa tersinggung dengan ucapan ibunya, dan dia juga merasa tidak nyaman dengan perlakuan kakaknya terhadap dia. Dia bercerita panjang lebar mengapa dan bagaimana perasaan kesal itu hinggap ke dalam dirinya, maka waktu itu aku hanya mendengarkan saja, karena aku tahu dia butuh didengarkan, dan belum bisa menerima masukan. Maka selama seharian, dari pagi, siang, sore di sela sela pekerjaanku, aku mendengarkan sang adik bercerita panjang lebar. Baru semalamnya aku sms sang adik, “ Besok mbak telpon ya, kalau dah ada waktu sms ya”. Maka paginya kutelepon sang adik dan mendengarkan apa yang dia rasakan, sambil sesekali aku memberikan jawaban sikapku atas apa yang dirasakannya. Kurasa sesekali dia menangis dan berhenti berbicara tatkala mendengar apa yang kuucapkan.
Seminggu kemudian aku mendapatkan beberapa sms dan telepon dari teman yang mana mereka berkeluh kesah tentang temannya, baik teman sekantornya, teman sekostnya, maupun teman kuliahnya. Mereka rata rata merasa tidak jenak dengan apa apa yang dilakukan temannya ataupun yang diucapkan temannya. Ada juga yang ditinggalkan pacarnya untuk menikah dengan orang lain, dan dia merasa sang laki laki tidak bertanggung jawab atas janji yang telah diucapkan, sedangkan dia merasa sudah membuang waktunya untuk menunggu sang laki laki menikahinya.
Rasa marah memang seringkali datang lebih cepat daripada rasa sabar kita. Dan selalu rasa sesal akan datang belakangan. Teringat kisah dimana waktu jaman Muhammad SAW, yang mana seorang ibu kehilangan anaknya, dan diminta sabar oleh ibunya oleh Muhammad SAW, tetapi tanpa melihat wajahnya, sang ibu hanya berucap kau tidak merasakan apa yang kurasa. Maka Muhammad SAW pun pergi , kemudian beberapa orang mengatakan kepada Sang ibu bahwa yang berbicara tadi adalah Nabi Muhammad SAW, maka serta merta ibu tersebut pergi menemui Muhammad SAW dan mengatakan kalau dia sudah sabar. Maka jawaban Muhammad SAW waktu itu adalah : Sabar itu adanya di awal, ketika hentakan pertama menghunjam, itulah sabar”
Kadang emosi dan marah bukan malah menyelesaikan masalah, justru malah menimbulkan masalah yang baru. Ketersingungan dengan apa yang diucapkan orang lain terhadap kita juga juga akan memacu emosi dalam jiwa. Seperti cerita dalam paragraph pertama, maka temanku ini pun merasa sesal di dalam hati ketika dia akhirnya hanya bisa marah terhadap suaminya. Waktu itu pesanku padanya hanya , ketika habis ini suaminya keluar dari kamar ibunya dan masuk ke kamar, tak usahlah membahas apa yang terjadi sebelumnya, justru itu hanya menimbulkan masalah baru. Keesokan harinya ketika dia menelepon, maka baru kujelaskan mengapa tak usah memperpanjang masalah, toh sudah biasa dimna mana, mertua kadang kala merasa tidak suka ketika mereka merasa anaknya telah diambil dari sisinya, maka seringkali kadang para mertua melakukan hal hal yang menyakitkan bagi menantunya. Mengapa jika perkataan tak menyenagkan itu tak kaudengarkan saja, terus senyumlah kepadanya, dan berkata dalam hati, baiknya suami saat ini adalah peran serta mertuanya yang telah mendidiknya, jika sang mertua tidak mendidiknya maka belum tentu dia akan bertemu suaminya. Aku jawab juga masalah ibunya, mengapa tak kau diam saja ketika ibumu melakukan banyak kata tidak menyenangkan walau tak layak diucapkan seorang ibu. Sudahlah diam saja, dan teruslah tersenyum, maklumlah bahwa ibumu saat ini sedang mengalami post power syndrome, yang mana kehilangan anak gadis satu satunya yang sebelumnya hamper dua minggu sekali pulang. Cobalah pahami, toh sewaktu kau kecil, ibumu juga memahamimu waktu kau begitu merepotkan untuknya.
Emosi dan rasa marah justru malah akan menguras jiwa, menajdikan hidup tidak tenang, seperti contoh juga di paragraph kedua dimana sang adik lama sekali merasakan ketidaksukaannya dengan ibu dan kakaknya dan terus dipendam di hatinya, tanpa pernah mau membicarakannya. Maka kemudian yang muncul hanya prasangka kepada ibu dan kakaknya. Mengapa tak pernah berpikir bahwa apa yang dilakukan ibunya itu semata mata ingin melindungi dia dari silaunya dunia dan mempersiapkan dia kelak menjadi ibu yang baik bagi anak anaknya. Ketika ibunya megeluarkan kata kata tak menyenangkan , mengapa harus dipikirkan dengan hati, dan diam saja. Diamnya kita, senyumnya kita walau kadang hati merasa terhimpit bagaikan piring yang dijatuhkan dan pecah berantakan, maka itu semua belum bisa membalas atas apa yang sudah ibu lakukan untuk kita semua. Mengapa kita tidak berkompromi dengan diri, tak usahlah mempeributkan harga diri yang memang sma sekali tak ada nominal disana, karena diri bukan untuk diberi harga. Sama seperti seorang sahabat nabi yang tetap memperlakukan ibunya dengan baik walaupun Sang ibu menyuruhnya ingkar terhadap Tuhanya, dia tetap melayani dan berkata baik terhadap ibunya.
Dendam yang tak berkesudahan dan bergolaknya kebencian di diri juga tak usahlah dirasa. Perkataan teman yang menyakitkan ataupun perlakuan teman yang tidak mengenakan, ataupun sikap teman yang mungkin seperti menusukan belati kedalam jantung jga tak perlulah dirisaukan. Ataupun janji teman yang tak tertunaikan janganlah membuat dan mengikuti syetan yang sedang mengelilingi seluruh jaringan otak kita untuk mengirimkan sinyal kebencian dari hati kepada mereka yang menyakiti diri. Mengapa tak diganti dengan senyum, maka hati akan menjadi lebih lapang tanpa merasakan sakit hati yang begitu dalam.
Hati yang sakit karena merasa dikhianati, mengapa tak pula berpikir, bahwa memang takdirNya memang demikian, dan Allah telah mempersiapkan hal terindah untuk diri. Bahwa di luar sana sudah dipersiapkan orang yang terbaik untuk dirinya, sedangkan calonnya sebelumnya tadi adalah orang baik yang bukan terbaik untuk dirinya. Makanya Allah menjauhkan dirinya dari diri.
Rasa benci, sesal yang berkepanjangan, emosi, dan ketersingungan, sudah memang akan ada dan berkembang, tetapi tidak lantas kita tidak bisa membuangnya. Karena senyum, berpikir positif, dan menyakini inilah yang terbaik dari Allah, justru akan lebih menyenangkan dan membuat diri tidak capek dan tidak merasa hidup bagai dibakar api. Tetapi justru kedamaian yang akan dirasa, karena benci tak lagi mengendap dalam hati karena kita telah berdamai dengan hati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar