Seminggu yang lalu aku
mendapat Telepon dari seorang teman, yang mana sampai saat ini dia
masih tinggal dengan mertuanya. Tiga hari sebelumnya dia sms di tengah
malam, berkeluh kesah tentang bagaimna dia harus mempunyai sabar yang
lebih, kira kira smsnya begini , “askm shoi, memang tinggal bersama
mertua kau harus mempunyai kesabaran lebih, yang mana dibanding
bandingkan dengan ipar yang lain, dimana sudah jelas aku akan kalah jauh
dibandingkan mereka, tapi tolonglah ibu mertuaku tidak harus
membahasnya bukan, aku merasa sendiri sedangkan suamiku sekarang lebih
memilih ke kamar ibu, dan aku sendirian di kamar” . waktu iku aku hanya
menjawabnya dengan “aku tahu,sholawat dan istigfarlah, maka hatimu akan
merasa lebih tenang”. cukup itu saja yang kubalskan , tidak mungkin aku
mengetikan kata sabar, karena justru akan membuat dia semakin gundah
dengan anjuran seperti itu. Seminggu kemudian dia meneleponku ,
menyesal telah membuat ibunya menangis dan mematikan telepon, karena
ibunya terus menyerangnya untuk segera pulang sedang dia sendiri baru
bisa pulang hari sabtu paginya, sedang ibunya menginginkan jika dia bisa
pulang jumat sama seperti sebelum dia menikah sebulan lalu. Maka
setelah capek menerangkan, akhirnya temanku hanya berujar, ” Ibu kan
sudah tahu resiko saya menikah dengan mas, kalau memang ibu tidak mau
seperti ini, kenapa menyuruh dan mengijinkan saya menikah” jawab temanku
dengan memakai bahasa jawa yang sangat halus. Aku hanya tersenyum
mendengarkan ceritanya.
Tepat hari itu
juga aku mendapat sms dari seorang adik teman, yang berkeluh kesah
tentang dia dan ibunya dan masalahnya dengan kakaknya. Sang adik merasa
tersinggung dengan ucapan ibunya, dan dia juga merasa tidak nyaman
dengan perlakuan kakaknya terhadap dia. Dia bercerita panjang lebar
mengapa dan bagaimana perasaan kesal itu hinggap ke dalam dirinya, maka
waktu itu aku hanya mendengarkan saja, karena aku tahu dia butuh
didengarkan, dan belum bisa menerima masukan. Maka selama seharian, dari
pagi, siang, sore di sela sela pekerjaanku, aku mendengarkan sang adik
bercerita panjang lebar. Baru semalamnya aku sms sang adik, “ Besok mbak
telpon ya, kalau dah ada waktu sms ya”. Maka paginya kutelepon sang
adik dan mendengarkan apa yang dia rasakan, sambil sesekali aku
memberikan jawaban sikapku atas apa yang dirasakannya. Kurasa sesekali
dia menangis dan berhenti berbicara tatkala mendengar apa yang
kuucapkan.
Seminggu kemudian
aku mendapatkan beberapa sms dan telepon dari teman yang mana mereka
berkeluh kesah tentang temannya, baik teman sekantornya, teman
sekostnya, maupun teman kuliahnya. Mereka rata rata merasa tidak jenak
dengan apa apa yang dilakukan temannya ataupun yang diucapkan temannya.
Ada juga yang ditinggalkan pacarnya untuk menikah dengan orang lain, dan
dia merasa sang laki laki tidak bertanggung jawab atas janji yang telah
diucapkan, sedangkan dia merasa sudah membuang waktunya untuk menunggu
sang laki laki menikahinya.
Rasa marah memang
seringkali datang lebih cepat daripada rasa sabar kita. Dan selalu rasa
sesal akan datang belakangan. Teringat kisah dimana waktu jaman Muhammad
SAW, yang mana seorang ibu kehilangan anaknya, dan diminta sabar oleh
ibunya oleh Muhammad SAW, tetapi tanpa melihat wajahnya, sang ibu hanya
berucap kau tidak merasakan apa yang kurasa. Maka Muhammad SAW pun pergi
, kemudian beberapa orang mengatakan kepada Sang ibu bahwa yang
berbicara tadi adalah Nabi Muhammad SAW, maka serta merta ibu tersebut
pergi menemui Muhammad SAW dan mengatakan kalau dia sudah sabar. Maka
jawaban Muhammad SAW waktu itu adalah : Sabar itu adanya di awal, ketika
hentakan pertama menghunjam, itulah sabar”
Kadang emosi dan
marah bukan malah menyelesaikan masalah, justru malah menimbulkan
masalah yang baru. Ketersingungan dengan apa yang diucapkan orang lain
terhadap kita juga juga akan memacu emosi dalam jiwa.
Seperti cerita dalam paragraph pertama, maka temanku ini pun merasa
sesal di dalam hati ketika dia akhirnya hanya bisa marah terhadap
suaminya. Waktu itu pesanku padanya hanya , ketika habis ini suaminya
keluar dari kamar ibunya dan masuk ke kamar, tak usahlah membahas apa
yang terjadi sebelumnya, justru itu hanya menimbulkan masalah baru.
Keesokan harinya ketika dia menelepon, maka baru kujelaskan mengapa tak
usah memperpanjang masalah, toh sudah biasa dimna mana, mertua kadang
kala merasa tidak suka ketika mereka merasa anaknya telah diambil dari
sisinya, maka seringkali kadang para mertua melakukan hal hal yang
menyakitkan bagi menantunya. Mengapa jika perkataan tak menyenagkan itu
tak kaudengarkan saja, terus senyumlah kepadanya, dan berkata dalam
hati, baiknya suami saat ini adalah peran serta mertuanya yang telah
mendidiknya, jika sang mertua tidak mendidiknya maka belum tentu dia
akan bertemu suaminya. Aku jawab juga masalah ibunya, mengapa tak kau
diam saja ketika ibumu melakukan banyak kata tidak menyenangkan walau
tak layak diucapkan seorang ibu. Sudahlah diam saja, dan teruslah
tersenyum, maklumlah bahwa ibumu saat ini sedang mengalami post power
syndrome, yang mana kehilangan anak gadis satu satunya yang sebelumnya
hamper dua minggu sekali pulang. Cobalah pahami, toh sewaktu kau kecil,
ibumu juga memahamimu waktu kau begitu merepotkan untuknya.
Emosi dan rasa
marah justru malah akan menguras jiwa, menajdikan hidup tidak tenang,
seperti contoh juga di paragraph kedua dimana sang adik lama sekali
merasakan ketidaksukaannya dengan ibu dan kakaknya dan terus dipendam di
hatinya, tanpa pernah mau membicarakannya. Maka kemudian yang muncul
hanya prasangka kepada ibu dan kakaknya. Mengapa tak pernah berpikir
bahwa apa yang dilakukan ibunya itu semata mata ingin melindungi dia
dari silaunya dunia dan mempersiapkan dia kelak menjadi ibu yang baik
bagi anak anaknya. Ketika ibunya megeluarkan kata kata tak menyenangkan ,
mengapa harus dipikirkan dengan hati, dan diam saja. Diamnya kita,
senyumnya kita walau kadang hati merasa terhimpit bagaikan piring yang
dijatuhkan dan pecah berantakan, maka itu semua belum bisa membalas atas
apa yang sudah ibu lakukan untuk kita semua. Mengapa kita tidak
berkompromi dengan diri, tak usahlah mempeributkan harga diri yang
memang sma sekali tak ada nominal disana, karena diri bukan untuk diberi
harga. Sama seperti seorang sahabat nabi yang tetap memperlakukan
ibunya dengan baik walaupun Sang ibu menyuruhnya ingkar terhadap
Tuhanya, dia tetap melayani dan berkata baik terhadap ibunya.
Dendam yang tak
berkesudahan dan bergolaknya kebencian di diri juga tak usahlah dirasa.
Perkataan teman yang menyakitkan ataupun perlakuan teman yang tidak
mengenakan, ataupun sikap teman yang mungkin seperti menusukan belati
kedalam jantung jga tak perlulah dirisaukan. Ataupun janji teman yang
tak tertunaikan janganlah membuat dan mengikuti syetan yang sedang
mengelilingi seluruh jaringan otak kita untuk mengirimkan sinyal
kebencian dari hati kepada mereka yang menyakiti diri. Mengapa tak
diganti dengan senyum, maka hati akan menjadi lebih lapang tanpa
merasakan sakit hati yang begitu dalam.
Hati yang sakit
karena merasa dikhianati, mengapa tak pula berpikir, bahwa memang
takdirNya memang demikian, dan Allah telah mempersiapkan hal terindah
untuk diri. Bahwa di luar sana sudah dipersiapkan orang yang terbaik
untuk dirinya, sedangkan calonnya sebelumnya tadi adalah orang baik yang bukan terbaik untuk dirinya. Makanya Allah menjauhkan dirinya dari diri.
Rasa
benci, sesal yang berkepanjangan, emosi, dan ketersingungan, sudah
memang akan ada dan berkembang, tetapi tidak lantas kita tidak bisa
membuangnya. Karena senyum, berpikir positif, dan menyakini inilah yang
terbaik dari Allah, justru akan lebih menyenangkan dan membuat diri
tidak capek dan tidak merasa hidup bagai dibakar api. Tetapi justru
kedamaian yang akan dirasa, karena benci tak lagi mengendap dalam hati
karena kita telah berdamai dengan hati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar