Kata ibu saya, semakin hari semakin banyak
orang yang bertambah keimanannya, Lho kok bisa? Darimana risetnya, sudah
begitu, beliau hanya ibu rumah tangga yang sama sekali tidak memahami
bagaimana olah data dan sebagainya mengenai riset. Ketika ditanya lebih
lanjut jawabannya begitu mudah : Lihat saja di jalanan, di sekolah, di
perkantoran, orang sudah tidak malu lagi menggenakan jilbab. Bahkan di
beberapa kantor hanya hitungan jari yang belum menggenakan jilbab bagi
mereka yang memang sudah wajib mengenakan jilbab. Waktu itu saya protes,
Nah ndak bisa dijadikan ukuran itu. Lalu satu lagi kata beliau, nah itu
bank syariah aja sekarang semakin rame, banyak yang buka cabang
syariah. Lalu ibu mengambil premis, bahwa orang orang Indonesia mulai
mengerti mana haram mana halal, mulai bisa membedakan mana yang sesuai
Al quran mana yang membangkang Al quran. “ Kamu masih mau bertahan?”
Tanya ibu menutup diskusi kami.
Waktu itu
saya terhenyak dan terdiam, akhirnya hanya ada senyum menyunging di
ujung bibir, dengan berbagai perasaan kecut di dada. Betapa tidak sindiran
ibu yang begitu halus dengan kata kata “bertambah keimanan, bank
syariah makin rame, makin banyak orang berjilbab”, dan terakhir dengan
pukulan telak pertanyaannya. Semalaman saya tidak bisa tertidur, bahkan
istri saya sempat bertanya, apakah saya sedang dirundung masalah yang
sangat berat? Waktu itu saya hanya mengatakan salah minum kopi, akhirnya
saya ambil wudhu dan sholat. Saya tidak tahu ini sholat apa, yang
jelas, saya belum tidur berarti belum sholat tahajud, yang saya tahu
dari adik istri saya, yang kebetulan mengaji, berkata kalau perasaan
sedang tak tentu sholatlah dua rakaat, kalau masih sholat lagi,
berdialoglah dengan Allah selama mungkin.
Allah tidak akan
bosan samapai kita bosan sendiri. Waktu itu saya sampai menangis yang
luar biasa. Bagaimana tidak kata kata ibu mertua saya itu begitu menusuk
dada, Saat ini baru saja saya dua bulan masuk kerja sebagai kepala
cabang salah satu bank konvensional yang terkenal di kota bogor. Dengan
gaji yang luar biasa besar, saya berpikir nantinya, semua beban yang
selama ini hampir dipikul istri akan segera saya pikul, Biaya sekolah
anak semata wayang saya di al azhar, biaya listrik, cicilan mobil,
sampai dengan biaya naik haji kami tahun depan. Semua biaya yang
dikeluarkan istri akan saya ganti. Tetapi semua impian itu
sirna, dengan kalimat sederhana ibu mertua saya, apakah masih mau
bekerja di bank konvensional? Akhirnya saya tertidur di atas sajadah
sampai subuh menjelang. Tidak, saya tidak bermimpi, bahkan Allah SWT
belum memberikan petunjuk sama sekali, akhirnya saya memutuskan untuk
pergi ke ustadz yang baru dua minggu ini saya mengaji
disana. Yah ternyata Allah punya jawabanya disana. Jawaban ustadz waktu
itu sungguh di luar dugaan saya, kata beliau, “Setiap manusia ketika
diciptakan ruhnya sudah diatur, lahir, mati, rizki, dan jodoh. Allah SWT
jelas memberikan rizki yang halal untuk setiap manusia, nah jika ada
manusia yang mendapat dari yang tidak halal itu bukan dari Allah. Jadi
dimanapun kamu kerja ya rezekinya kamu tetap akan dapat segitu, tidak
bakalan kurang, Bedanya yang satu halal yang satu tidak.” Waktu itu saya
tidak lagi meneruskan pertanyaan saya, saya langsung ijin pamit pulang.
Setelah sholat
istikharah dua hari, keputusan saya sudah bulat. Pagi itu hari rabu,
saya berangkat ke kantor , bertemu anak buah, dan melakukan rapat
seperti biasa, mengejar target dan sebagainya, saya berpikir dimanapun
bekerja, ketika kita digaji, maka sudah menjadi hutang kita untuk
melunasinya dengan bekerja sebaik baiknya. Hal ini berlangsung selama
seminggu, setelah semua nya dianggap cukup, hari rabu minggu depannya,
saya berangkat kekantor pusat dengan membawa seluruh berkas . Setelah
meeting, semua pimpinan merasa puas, dengan program dan kemajuan yang
kami capai. Sampai akhirnya mereka tertegun pada slide presentasi
terakhir dimana disitu saya menuliskan sesuatu.
Ya, saya
mengundurkan diri dari jabatan yang begitu menggoda kehidupan duniawi
saya, padahal sudah terdengar isu jika beberapa bulan lagi saya akan
dipromosikan naik ke kantor pusat. Keyakinan akan keputusan ini sudah
bulat, saya tidak mau tertinggal menjadi bagian orang yang semakin
beriman dinegeri ini seperti kata ibu mertua saya dan saya yakin rezeki
saya pun jumlahnya akan sama dengan sekarang yang saya dapat seperti
petuah ustad saya waktu itu. Yang penting janji saya kepada perusahaan
saat ini sudah terpenuhi, Maka semakin mantap dan tenang hati ini
meninggalkan pekerjaan saya ini.
Beberapa
bulan kemudian saya mendaftar di salah satu bank syariah, dan
alhamdulilah diterima sebagai Account Officer. Walaupun jabatannya tidak
seperti kedudukan saya dulu tapi hati ini merasa tenang, karena harta
yang dibelanjakan untuk anak dan istri saya, serta adik adik saya adalah
harta yang halal, saya tidak tahu bagaimana jika harta yang dulu pernah
saya kasih ketika saya masih bekerja di bank konvensional itu menjadi
daging di keluarga saya, bukankah tidak diijinkan masuk surga jika ada
secuil daging yang berasal dari yang haram. Tetapi saya yakin bahwa
Allah maha pengasih dan penyayang, dan maha mengampuni hambanya yang
benar benar ingin bertobat. Dan yang jelas saat ini take homepay saya
jauh lebih besar daripada ketika saya dulu menjadi kepala cabang di
salah satu bank konvensional.
(Tulisan ini adalah hasil dari cerita kakak ipar saya, pada waktu lebaran kemarin)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar